Rabu, 10 September 2014

EPIGRAFI DAN HISTORIOGRAGI INDONESIA

BAB IV
EPIGRAFI DAN HISTORIOGRAGI INDONESIA
Buchari
Arkeolog, Dinas Purbakala, Jakarta
Karya N.J Krom yang berjudul Hindoe-Javaanesche Geschidenis yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1926 dan di revisi yang terbit pada tahun 1931dapat dianggap sebagai satu-satunya buku referensi mengenai sejarah kuno Indonesia.
Kalau isi buku Krom itu diteliti dapat dilihat bahwa kita dihadapkan pada sebuah analisis yang berbeda sekali dari apa yang terdapat dalam buku sejarah konvensional. Di dalamnya terdapat pembahasan tentang tafsiran sebuah kata tertentu di dalam prasasti atau sumber sejarah lainnya yang selanjutnya oleh Krom dipakai sebagai dasar untuk menarik kesimpulan-kesimpulan.
Istilah Prasasti merujuk pada sumber-sumber sejarah zaman kuno yang ditulis di atas batu atau logam. Prasasti kebanyakan dibuat atas perintah penguasa di berbagai bagian Indonesia sejak abad ke-5. Sejumlah kecil prasasti merupakan keputusan pengadilan yang biasanya dikenal dengan jayapatra. Beberapa prasasti mengandung uraian panjang lebar, tetapi ada pula yang hanya memuat tanggal atau nama seorang pejabat kerajaan tertentu. Prasasti pada zaman Islam yang kebanyakan ditulis di atas batu nisan biasanya menyebutkan nama orang yang di makamkan di tempat itu, keterangan tentang tanggal kematian dan beberapa kutipan ayat Al-Quran.
Pemeliharaan, pengawasan, dan penelitian sumber-sumber sejarah yang berupa prasasti menjadi tugas Dinas Purbakala dan Peninggalan Nasional. Sebagai lembaga ilmiah, Dinas Purbakala mempunyai bagian khusus yang menangani penelitian prasasti. Di bagain tersebut terdapat hampir tiga ribu cetakan kertas dari prasasti batu dan logam yang ditulis dalam bahasa Sansekerta, Melayu Kuno, Jawa Kuno, Bali Kuno dan Arab.
Untuk mempereoleh bayangan yang lebih baik tentang apa yang perlu dilakukan di bidang epigrafi, studi tentang prasasti, sebaiknya kita memepelajari daftar prasasti yang disusun oleh L. Ch. Damais yang diterbitkan tahun 1952. Dari 290 buah prasasti yang berasal dari Sumatera, Jawa, Madura, dan Bali hanya 81 buah prasasti yang telah di terbitkan tranksripsi dan terjemahannya secara lengkapbeserta analisisnya.
Di Indonesia seorang ahli epigrafi masih sedikit jumlahnya, mengingat masih sedikit peminat terhaap pelajaran epigrafi. Tugas ahli Epigrafi sekarang ini bukan hanya mempelajari prasasti-prasasti yang belum diterbitkan, tetapi juga mengkaji kembali semua prasasti yang telah diterbitkan transkripsi sementaranya, lalu menerjemahkan prasasti-prasasti itu kedalam bahasa modern agar sarjana lain, terutam sejarawan, dapat memanfaatkan keterangan yang terdapat di dalamnya.
Ada beberapa kesulitan seorang ahli Epigrafi dalam menjalankan tugas tersebut diantaranya : Pertama, Prasasti-prasastiitu banyak yang dalam keadaan rusak, teruatam yang tertulis di atas batu, sehingga sulit membacanya. Prasasti yang tertulis dalam bahasa Sansekerta ada kelebihannya karena ditulis dalam bentuk matra yang memungkinkan ahli epigrafi untuk sering rmemakai aturan-aturan guru lagu sebagi bantuan dalam menyusun pembacaan yang tepat dari bagian-bagian yang menimbulkan masalah. Selanjutnya yaitu terjemahan naskah, pengetahuan tentang bahasa-bahasa yang dipakai di dalam parasasti belum memadai untuk mengungkap arti teks sepenuhnya.
Pada umumnya prasasti dikeluarkan untuk memperingati penobatan suatu daerah sebagai sima, yaitu daerah bebas pajak, sebagai anugerah raja kepada pejabat tertetu yang telah berjasa kepada Negara, atau sebagai anugerah raja untuk pemeliharaan banguan suci tertentu. Bagian yang memuat sumpah atau kutukan terhadap mereka yang berani melanggar ketentuan-ketentuan dalam prasasti itu mengambil tempat yang penting di dalam prasasti itu sendiri.
Tahun dan bulan yang biasanya dimuat dengan lengkap dan tepat, yang diikuti nama sang raja dan pegawai tinggi kerajaan, dapat memberikan kerangka kronologis untuk penulisan sejarah. Berdasarkan keterangan boleh jadi dapat diperoleh pengetahuan tentang berapa lama masa pemerintahan seorang raja, sementara tempat prasasti itu ditemukan dapat memberikan bayangan tentang luas daerah kekuasaan raja itu. Apabila suatu teori disusun berdasarkan tanggal yang dibaca dengan salah hasilnya adalah kekacauan. Contohnya Prasasti di balik patung Camundi di Ardimulyo (Singasari). Dibagian tanggal terdapat kerusakan semula dibaca oleh Goris dan Stutterheim sebagai tahun 1254 Saka. Stutterheim mengaitkan prasasti tersebut dengan ratu Tribhuwana dari Majapahit dan dengan pertempuran-pertempuran di Sadeng dan Keta yang terjadi dibawah pemerintahannya. Sedangkan Ganesha dan Bhairawa yang dilukiskan di sisi Camundi di identifikasikan sebagai Gajah Mada dan Adityawarman. Selanjutnya bacaan tersebut mempengaruhi sarjana-sarjana lain yang kemudian merumuskan teor-teori mereka. Diantarany yaitu C.C Berg yang menulis tentang pertempuran Sadeng dan mitos kejayaan Majapahit, sedangkan J.L Moens memakai keterangan tadi sebagai dasar teorinya bahwa Tribhuwana melakukan bigamy dengan Cakreshwara, suaminya yang digambarkan sebagai Bhairawa di sebelah kiri patung Camundi dan dengan Gajah Mada yang digambarkan sebagai Ganesha di sebelah kanannya.
Kemudian semua teori itu menjadi berantakan setelah Damais berhasil menetapkan bahwa tanggal yang tepat adalah 1214 Shaka dan bahwa prasasti itu seharusnya dikaitkan dengan Raja Kertanegara, dan prasasti tersebut tidak ada kaitannya dengn pertempuran Sadeng karena bagian yang menurut rekonstruksi stutterheim berbunyi mawuyung yi sa (deng) seharusnya dibaca manuyuyi sakala-dwipatara.
Yang menari dalam Sejarah kuno Indonesia adalah dipakainya penanggalan yang bukan Tarikh shaka dalam dua buah prasasti batu, yaitu Prasasti Taji dan GATAK. Prasasti tersebut dikeluarkan oleh Daksa memakai tarikh Sanjaya. Brandes membaca angka di prasasti sebagai tahun 694 dan 693 Sanjayawarsa sedangkan menurut pendapat R. Goris tanggalnya adalah 172 atau 174, dan 176 Sanjayawarsa. Berdasarkan pembacaan Brandes Krom mengemukakan bahwa awal tarikh Sanjaya jatuh antara tahun 217 dan 226 M, masa dimana Hindu sudah ada di Jawa. Goris mengemukakan pendapat bahwa mungkin sekali zaman Sanjaya dimulai dengan didirikannya sebuah lingga oleh Sanjaya pada tahun 654 shaka dan oleh karenanya tahun-tahun 172/174 dan 176 Sanjayawarsa sama dengn tahun 904/906 dan 908 M.
Teori-teori mengenai zaman Sanjaya ini akhirnya terbukti tidak benar ketika Damais memberikan bukti meyakinkan bahwa tanggal-tanggal tersebut sama dengan 910 dan 913 M. Maka dari itu zaman Sanjaya dimulai pada tahun 717 M yang mungkin merupaan saat terjadinya suatu peristiwa yang di anggap penting sekali dalam kehidupan Sanjaya yang dianggap sebagai vamshakerta oleh raja berikutya.
Setelah menyebutkan tanggal-tanggal dan semua unsur penanggalan dengan lengkap, prasasti biasanya menjelaskan bahwa waktu itu da perintah penguasa disanpaikan kepada sekelompok pejabat tinggi yang melanjutkan perintah raja itu kepada sekelompok pegawai yang rendah.dari keterangan-keterangan itu dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa sekurang-kurangnya ada dua golongan pegawai Negara. Golongan pertama terdiri dari empat atau lima orang, yaitu rakryan mapatih I hini,, rakryan mapatih I halu, rakryan I wka, rakryan bawang dan rakryan I sirikan. Golongan pegawai kedua dinamakan para tanda rakryan ring pakira-kiran.
Sesudah tanggal dan daftar pegawai yang bersangkutan, terdapat keterangan mengenai peristiwa yang diperingati di dalam prasasti itu, yaitu peristiwa pemberian hak-hak sima kepada daerah tertentu.
Bagian prasasti yang diawali dengan kata sambandhanya berisi keterangan-keterangan berisi keterangan-keterangan sejarah yang dapat disusun menjadi cerita sejarah. Didalam beberapa prasastibagian yang tidak ternilai harganya seperti prasasti batu yang lebih dikenal dengan nama batu Calcutta dari Raja Erlangga yang ditemukan di Gunung Penaggungan, lempengan tembaga dari Gunung Butak, dan lempengan tembaga dari Raja Kertarajasa yang ditemukan di Gununga Penanggungan dan bertanggal 1218 shaka.
Batu Calcutta terdiri dari dua bagian yang pertama alam bahasa Jawa Kuno. Bagian yang ditulis dalam bahasa Sansekerta terdiri dari daftar raja secara kronologis, dilanjutkan dengan sebuah laporan mengenai kehancuran kerajaan dan mengenai Erlangga yang terpaksa melarikan diri ke dalam hutan dengan disertai oleh hambanya, Narottama. Bagian yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno dan yang disusun sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku untuk prasasti Jawa Kuno berisi laapoan-laporan bahwa sang raja telah memberi hak-hak sima kepada dua daerah yaitu Bareham dan Capuri untuk membangun sebuah banguan suci, dharma karsyan.
Lempengan tembaga dari Gunung Butak yang bertanggal 1216 shaka memperingati anugerah raja Kertarajasa Jama di yawardhana kepada rama di Kudadu dalam bentuk Desa Kudadu yang ditarik dari penguasa dharmma di Kleme dan diberi hak-hak sebagai daerah otonom yang diperuntukkan bagi rama di Kudadu dan semua keturunannya. Lempengan tembaga dari Gunung Pananggungan yang bertanggal 1218 shaka juga merupakan sebuah prasasti dri Kertarajasa Jayawardhana. Prasasti itu memeperingati anugerah raja kepada Panji Patipati mpu Kapat berupa Sukamerta, bagian dari daerah Pangkah.
Bagian-bagian tersebut merupakan keterangan bersejarah yang penting yang tercantum dalam bagian prasasti tentang sebab musabab mengapa seseorang mendapat anugerah dari raja atau mengapa sebuah bangunan suci didirikan. Prasasti-prasasti lain juga memuat keterangan bersejarah dibagian tersebut, namun umumnya agak kabur. Prasasti balitung, yang bertanggal 827 Shaka, misalnya, menceritakan bahwa sang raja memberikan anugerah kepada lima orang patih dari Mantyasih karena jasa mereka dalam mencari orang untuk melakukan buathaji (semacam kerja bakti).
Penulis prasasti itu nyata benar tidak menulis untuk kita,orang zaman kini,pemberian keterangan yang benar-benar jelas tidak dianggapnya sebagai hal penting, karena bagi orang sezaman, sudah jelas perkawinan kerajaan yang mana yang dimaksudkan dalam prasasti dan bahaya yang mana yang mengancam penduduk desa kuning. Sebuah prasasti dari Raja Lokapala yang ditemukan di Gunung Kidul dan yang bertanggal 802 Shaka, berbeda dari prasasti –prasasti lain, karena sesgera sesudah tanggal dan unsur-unsur penanggalannya, prasasti itu menyebutkan suatu peristiwa bersejarah mengenai Rakryan Manak, yang diculik oleh adik laki-lakinya, Rakryan Lan-dhayan , dn ditinggalkan di Tangar, dan kemudian bunuh diri dengan membakar diri di Desa Taas.
Mengenai Rakryan Lan-dhayan, satu-satunya keterangik dan yang kita peroleh ialah bahwa ia adalah adalah adik dari  Rakryan Manak, sehingga berdasarkan dugaan tadi, ia seharusnya ipar laki-laki sang raja. Masih banyak contoh lainnya, seperti sejumlah prasasti batu dari kerajaan Kediri. Diantaranya adalah prasasti desa pikatan (Blitar), bertanggal 1108 Shaka. Dalam prasasti tersebut diperingati penetapan sebuah daerah menjadi tanah sima, anugerah Raja Bameshwara kepada rama dipadelegan karena telah berbakti kepada sanr raja denagan mengorbankan jiwanya dimedan pertempuran.
Dengan demikian, dapat dimengerti mengapa sejarah kuno Indonesia penuh dengan bagian-bagian yang kurang jelas dan krang tegas. Selain dari itu, seperti telah diajukan pada awal tulisan ini, tidak semua sumber sejarah yang berupa prasasti telah diterbitkan dan diteliti. Dalam hal ini, perlu disebutkan prasasti-prasasti dimakam-makam islam yang tertua. Karena itu, jelas bahwa sebagian besar dari yang dikemukakan didalam buku-buku mengenai sejarah kuno Indonesia sebenarnya masih merupakan dugaan, yang setiap saat dapat ditinggalkan lantaran penemuan sumber-sumber sejarah baru atau interpretasi baru terhadap sumber-sumber yang pernah dipakai.
Ada contoh lain lagi, yaitu versi-versi tentang sanjaya, Rakai panangkaran, dan para pengganti mereka sebagai para raja Dinasti Shailendra. Berkat penyelidikan yang dilakukan J.Ph. Vogel, F.H van Naerssen, dan de Casparis, kini dapat dinyatakan bahwa pada abad ke-8 dan ke-sesungguhnya ada dua dinasti di Jawa Tengah, yang pertama dinasti Sanjaya yang memeluk agama siwa, yang kedua dinasti Shailendra, yang memeluk agama Budha Mahayana.
III
Seorang sejarawan tidak dapat mengharapkan bahwa semua prasasti memuat keterangan lengkap seperti “batu Calcutta” atau prasasti dari Gunung Butak. Ia harus membangun cerita sejarahnya dari sejumlah fakta yang tersebar dalam berbagai prasasti, sebagaimana burung membangun sarangnya dengan menghubungkan beberapa titik pada dahan-dahan yang terpisah-pisah. Dalam hal ini, prasasti memang memberikan keterangan banyak, sekalipun ini merupakan hal yang mudah diabaikan oleh sejarawan itu.
Dalam bagian-bagian ini dapat diperoleh keterangan yang lebih terinci tentang kedudukan sebuah sima. Antara lain, sima tidak boleh dikunjungi oleh manilala  haji, yang sampai kini dianggap sebagai “petugas pajak”. Dalam bagian-bagian tersebut mungkin kita juga menemui keterangan mengenai pemberian hak-hak istimewa kepada mereka yang telah mendapat anugerah saja. Sesudah itu disebutkan bermacam pegawai, mulai dari pegawai tertinggi kerajaan sampai pegawai desa dan pegawai keagamaan yang diperintahkan melakukan upacara penetapan tanah sima itu.  Dibagian ini mungkin terdapat pula keterangan tentang adanya pemain gamelan, penyanyi, penari, pelawak dan sebagainya, yang ikut serta pada upacara penetapan itu.
Selanjutnya ada bagian yang menggambarkan puncak upacara penetapan yang terdiri dari ucapan kutukan oleh pegawai keagamaan yang khusus diberi tugas ini, dan yang dinamakan sang (pamgat) makudur. Dalam beberapa prasasti sering dikatakan pula bahwa sesajiannya adalah inmas (berupa emas). Artinya, mungkin sekali orang yang berkepentingan tidak diharuskan mempersiapkan segala macam sesajian itu, tetapi dapat memenuhi syarat dengan membayar emas kepada sang makudur.
Sang makudur, kemudian mengatur sesajian itu pada tempatnya masing-masing, dan mereka yang ikut pada upacara itu makan bersama. Makanan yang disediakan juga sering disebutkan didalam prasasti. Sesudah itu, Sang makudur mulai mengucapkan kutukan-nya. Maksud dari kutukan itu adalah untuk menghukum mereka yang berani melanggar ketentuan-ketentuan mengenai tanah sima sebagaimana tertera didalam prasasti. Sering juga disebutkan mereka yang menjadi sasaran kutukan itu, yaitu para raja berikutnya (sang anagata prabhu), para pegawai negara dan orang lain. Kadangkala disebutkan pula orang-orang dari keempat kasta india yang terkenal, brahmana, Kshatriya, waishya dan Shudra.
Pada akhirnya, sebagai penutup upacara dan sebagai lambang kenyataan penetapan tanah sima itu (cihnanyan mapageh ikanang susukan sima), mereka yang ikut akan “melipatgandakan daun mereka”. Prasasti-prasasti yang dikumpulkan dalam golongan jayapattra berisi keterangan yang berbeda sifatnya. Ada yang memuat keputusan yang mengenai perkara sewa menyewa. Salah satu dari prasasti tersebut bertanggal 844 Shaka, sangat menarik. Ini menyangkut kewarganegaraan seseorang.
IV
Seandainya keterangan-keterangan ini diteliti dengan seksama, mungkin akan dihasilkan pengertian yang menarik tentang sifat-sifat khusus dan struktur masyarakat, agama, dan adat istiadat kuno Indonesia. Suatu persoalan penting yang menurut penilaian penulis sebaiknya dipecahkan ialah sifat pemerintahan zaman kuno. Setelah masalah ini diselesaikan, beberapa keterangan bersejarah mungkin akan mendapat sorotan yang berbeda-beda. Misalnya, masalah mengenai sebab-musabab pemindahan pusat kerajaan Medang dari Jawa Tengah ke Jawa Timur pada pertengahan abad ke-9 tarikh Shaka, yang sekarang ini dianggap oleh para ahli sebagai akibat persengketaan antara Shriwijaya dan Medang.
Jatuhnya kerajaan Dharmmawangsha pada tahun 939 boleh jadi juga dapat dijelaskan dengan cara lain. Sampai kini dikatakan bahwa Haji Wurawari yang menyerang Dharmmawangsha dari Lwaram, yang menyebabakan keruntuhan Dharmmawangsha adalah sekutu Shriwijaya dari Semenajung Malaka.
V
Dalam alinea-alinea tersebut, dengan singkat penulis telah mencoba membicarakan epigrafi dan mencoba memberikan usulan bagaimana epigrafi dapat membantu historiografi Indonesia Kuno. Namun pembicaraan disini tidak akan lengkap jika tidak disebutkan bahwa belum lama ini telah berkembang perdebatan hebat antara beberapa orang ahli sejarah Indonesia. Gagasan pokok Berg bisa diterima, namun masalahnya bagaimana mempratekkan gagasan itu? P.J Zoetmulder agaknya benar ketika mengatakan bahwa mereka yang hidup dimasa kini tidak akan mungkin menjadi “orang dalam” sepenuhnya, tidak akan memperoleh pemahaman yang lengkap tentang unur-unsur yang tekandung didalam sumber-sumber sejarah itu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar